Monday, October 23, 2017

Review Sigkat Polygon Xtrada 6 (2017) dibandingkan Polygon Heist 2 (2017), Sebuah Ulasan

Singkat cerita, saat ini saya sedang ketularan 'virus' gowes, atau hobi bersepeda.  Kira-kira dua bulan yang lalu, entah bagaimana tiba-tiba ingin punya sepeda. Niatnya sih untuk olahraga agar lebih sehat dan mengurangi berat badan (TB 171, BB 76 - agak-agak overweight!), sekaligus coba-coba bike to work.  Well, untuk usia saya yang hampir menginjak kepala 4, jujur ini hobi yang agak terlambat.  Tapi tak apalah, daripada tidak sama sekali kan? :D.

Niat menurunkan berat badan sebetulnya sudah dimulai dari awal 2017 lalu, awalnya mencoba menekuni olahraga jogging (ga PD klo bilang running, soalnya lambat banget..hahaha).  Gara-garanya terinspirasi oleh teman yang berhasil menurunkan berat badan dengan drastis karena konsisten menekuni olahraga yang satu ini.  Tetapi, saya tidak berhasil konsisten untuk menekuni jogging/running...entah mungkin saya terlalu malas, atau tidak ada partner sebagai motivator.  Walhasil sayapun off setelah mencoba 2 bulan.

Niat sehat pun muncul kembali dan entah bagaimana 'ilham' pun datang untuk mencoba bersepeda.  Dimulailah pencarian informasi mengenai olahraga sepeda.  Dari mulai jenis-jenis sepeda (banyak banget ya jaman sekarang...membingungkan), sampai tips-tips bersepeda yang baik dan benar.  Belajar hal baru adalah salah satu hal yang saya paling suka.  Sebenarnya sepeda pertama yang saya beli adalah Polygon Heist 2 (2017), tipe sepeda hybrid yang super keren, dan sepertinya paling banyak penggunanya di Indonesia, sampai ada istilah 'Heister'.    

Petualangan bersepeda pun dimulai kira-kira 2 bulan yang lalu.  Saya beruntung karena beberapa teman kantor ternyata sudah lebih dulu menggeluti hobi gowes ini 1-2 tahun yang lalu.  Setelah sempat vacum beberapa lama, akhirnya mereka pun mulai aktif kembali setelah tahu saya punya sepeda baru (cieee...:D).

Oh ya, saya tinggal di Bogor, kota dengan ketinggian antara 190-330 mdpl, sebuah kota kecil yang sangat padat.  Goweser Bogor pasti faham betul, bahwa kebanyakan trek/jalur bersepeda akhir pekan di kota ini adalah daerah luar kota yang penuh tanjakan.  Siapa juga yang mau gowes sehat di dalam Kota Bogor, yang penuh sesak oleh kendaraan bermotor saat akhir pekan. Jadi, goweser Bogor sangat bisa diandalkan kalau urusan bersepeda sambil melahap tanjakan-tanjakan curam...hehe.  

Setelah beberapa kali bergowes ria dengan teman-teman kantor dan teman kuliah dulu, saya mulai menemukan apa yang saya senangi dari bersepeda.  Ternyata saya lebih suka bersepeda melalui jalan-jalan kampung, pedesaan, pegunungan dengan view yang indah, dan jalan-jalan tanah/berbatu/offroad.  Setelah menyadari itu, saya merasa bahwa saya telah 'kurang tepat' memilih sepeda.  Heist 2 adalah sepeda mumpuni dengan 3x8 speed, sepeda hybrid yang konon didesain untuk touring dengan kondisi jalan yang bervariasi. Ini dapat terlihat dari ukuran crankset nya, yatu 48T-38T-28T, dan tipe ban 700x40c yang setelan road bike tapi ban nya lebih lebar. Heist cocok untuk hampir di semua kondisi, kecuali melahap tanjakan-tanjakan sangat curam dengan tipe jalan offroad.  Saat dibawa offroad, beberapa kali ban saya slip diantara bebatuan, karena ukuran yang relatif ramping, serta kehilangan grip gara-gara tertutup lumpur, karena tipe kembangan ban yang kurang cocok.

Ahirnya saya mulai berfikir untuk mengupgrade sepeda saya dengan crankset yang ukurannya lebih pas untuk tipe jalur-jalur di Bogor yang penuh tanjakan, serta ukuran ban (mengganti ke 27.5x2 inch).  Namun setelah hitung punya hitung, biaya upgrade ini bisa hampir seharga sepeda Heist saya kalau beli baru.  Wah kalau gini sih mendingan beli sepeda baru. Baiklah, tidak ada salahnya meminang sepeda baru, sepeda MTB.  Setelah browsing sana sini, tanya sana sini, akhirnya saya memutuskan untuk memilih Polygon Xtrada 6!!

Menentukan pilihan ke Xtrada 6 sungguh sebuah proses yang tak mudah. Parameter yang saya mau dari sepeda MTB baru saya adalah: (1) ukuran crankset yg 'pas', (2) MTB yang bisa dibawa offroad dengan asik, (3) memiliki groupset yang relatif lebih baik.  Dan semua itu salah satunya saya temukan di Xtrada 6.

Ada beberapa pilihan tipe Xtrada 6, yaitu 2x10 dan 1x10 speed (versi 2017) serta 3x10 speed (versi 2016).  Setelah dengan teliti membandingkan spek dari masing-masing tipe tersebut, saya memutuskan memilih Xtrada 6 versi 2x10 speed, si hijau.  Sebetulnya saya kurang suka dengan warna frame nya, tapi apa boleh buat...spek nya lebih penting buat saya.

Xtrada 6 (2x10) ini memiliki Crankset depan 36T-22T, dan sprocket 10 speed (11-36T).  Saya memilih 36-22T dengan alasan bahwa sepeda ini akan lebih ringan digowes dibanding Heist 2 saya yang ukuran crank tengahnya 38T dan sprocket 12-32T.  Selama menggunakan Heist, saya memang lebih banyak menggunakan chainweel tengah (38T), jadi saya fikir dengan menggunakan Xtrada yang 36T tidak akan terlalu jauh dari kebiasaan saya.  Xtada versi 2016 memiliki crankset 42-30-22T, agak berbeda cukup jauh dari Heist 2 saya. 

Mari kita tinggalkan sejenak urusan spek ini, kita langsung ke 'real world' performance nya Xtrada 6.  Xtrada 6 ini memang baru satu kali saya ajak gowes akhir minggu, tetapi langsung mencetak rekor gowes saya terjauh, 68km. Setelah menikmati gowes bersama Xtrada 6, inilah kesan yang saya dapatkan (relatif terhadap Heist 2):
  • Lebih PD melibas jalanan offroad. Saat saya menggunakan Heist 2, ukuran dan permukaan ban membuat saya tidak PD untuk melibas jalan offroad.  Namun demikian, walaupun ban Xtrada 6 adalah ban tahu (Schwalbe Smart Sam - aneh sih, padahal di spek Rodalink harusnya dapet yang Tough Tom), ban X6 kadang meleset beberapa kali saat menggilas batu kerikil agak besar. Mungkin ini karena tekanan ban yang terlalu tinggi (depan 38 psi, belakang 40 psi).  Ideal untuk offroad seharusnya depan 32 psi, belakang 35 psi (untuk tipe ban ini), agar grip lebih baik. Akan tetapi saya memilih menggunakan tekanan ban lebih besar sebagai kompromi, karena sebenarnya sebagian besar trek yang saya lalui adalah jalan aspal.
  • Lebih ringan di tanjakan!  Ini yang saya paling 'surprised', ternyata Xtrada 6 sangat enak dibawa melibas tanjakan curam.  Sebelumnya saya sering dibully karena hobi dorong Heist 2 saya kalau ada tanjakan, tetapi Xtrada 6 berhasil membuat saya 'gak malu2in'..hahaha.  Selama menggunakan si X6 kemarin, saya selalu di posisi gear depan paling besar (36T), dan semua tanjakan saya libas (panjang, pendek, curam, agak curam).  Bahkan teman-teman yang rajin memotret saya saat mendorong sepeda dulu, saya libas di tanjakan.. :D (Xtrada 3, Specialized Hardrock Sport).  Saya fikir, selain faktor ukuran crank yang pas untuk saya, ada faktor lain yang mungkin jadi penentu, yaitu: (bobot sepeda, geometri sepeda, dan psikologis saya sendiri).  Tetapi perbedaan antara Xtrada 6 vs Heist 2 di tanjakan saya rasakan berbeda sekali.
  • Lambat di jalan aspal dan landai.  Ini yang saya akui lemah dari Xtrada 6, selalu tertinggal dari rombongan. Saya fikir ada 2 faktor yang mempengaruhi, yaitu ukuran crankset terbesar yang hanya 36T, dibanding teman yang lain di 42T atau 48T.  Tetapi ini masih bisa diatasi dengan menjadi lebih fit dengan menggowes (cadence) lebih cepat.  Selain itu tipe ban tahu memang kurang efektif di jalan aspal.
  • Stang/handlebar kurang nyaman untuk penggunaan lama/jarak jauh.  Flat bar, swipe kecil, dan handgrip yang keras membuat telapak tangan saya cepat pegal dan kesemutan. Ini mungkin karena saya terbiasa dengan Heist 2 saya yang sudah saya ganti stang nya menjadi model riser handlebar dengan rise 5cm, dan sudut swipe lebih besar, serta handgrip lebih lembut dan lebar. Tapi memang handgripnya X6 kurang nyaman.
  • Suspension fork dengan travel 120mm benar-benar membuat sepeda ini sangat nyaman. Saat melibas jalan berlubang, sepeda ini benar-benar nyaman.  Selain itu fork di Xtrada 6 dapat di'lock' untuk mematikan suspensinya, sehingga konon akan membuat gowesan di trek mulus akan lebih efisien. Namun demikian, beberapa kali saya melibas tanjakan dengan asik walaupun posisi suspensi fork sedang ON.
  • RD dan FD deore membuat shifting terasa lebih lembut dan responsif.
  • Gowesan juga terasa lebih responsif. Mungkin pengaruh dari Crankset Prowheel yang sudah menggunakan teknologi Hollowtech.
Karena ini baru ujicoba pertama, jadi baru ini dulu yang dapat saya bagikan terkait Polygon Xtrada 6.  Seiring waktu, jika ada hal baru yang saya temukan, akan saya tambahkan terus di tulisan ini.

Overall, jika membandingkan Xtrada 6 dengan Heist 2, jelas bukan apple to apple.  Kedua sepeda ini berbeda peruntukannya, Xtrada 6 untuk cross country/trail sedangkan Heist 2 untuk touring dengan kondisi jalan yang bervariasi. But, I love my Xtrada 6 and Heist 2 very much!!  Tambahan, claim Polygon tentang Xtrada 6 yang memiliki desain lebih baik untuk masuk ke kelas XC/Trail sepertinya bukan isapan jempol...lebih agresif di tanjakan... Jargon 'more traction, more pop, more confident' sepertinya ada benarnya. 

Salam dua pedal, dan 2 ban!!

Disclaimer: Tulisan ini atas inisiatif dan pengalaman pribadi, bukan pesanan ataupun terkait dengan promosi Polygon (tidak dibayar sama sekali oleh Polygon, boro2..bonus aja ga dikasih :D).
  

Tuesday, August 30, 2016

SOLDIER OF FISHERIES SONG

SOLDIER OF FISHERIES SONG

The sky was so clear, and the wind sing a song
Soldier of fisheries come to make a pact
Wherever I go wherever I live
You and I should be man with blue soul

REFF:
All the time will....all the time will
Fight for good future and all my/our dream will come true
All the time will....all the time will
All the time I will make fisheries glory

[INTERLUDE, SOLO SINGING]
Wherever I go wherever I live
You and I should be man with blue soul

Song by: Nazdan

Monday, May 23, 2016

Review Olympus OMD EM5 for Underwater Photography

Nowadays, a lot of options of camera available for people who want to move from hobbies into a more serious underwater photographer. In the era of digital SLR (which is in last ten years), markets were suddenly flooded by various options for DSLR underwater camera setup, including underwater housing, lens ports, flash strobe, etc. That era was I think the fastest growing underwater photography technology and industry in the human history.

Few years ago, a 'new comer' has been introduced to digital photography society, the mirrorless technology. A new 'approach' of digital camera system which offers better experiences compared to DSLR system. Some of those advances are: smaller size (travel friendly), image quality, faster auto focus, lower noise, connectivity, and quietness.

When it comes to advance underwater photography, the first thing we imagine must be a bulky DSLR system, and this is true. Mirrorless technology (which mostly smaller then DSLR in size) still have smaller market share compared to the compact and DSLR cameras, which also the case for underwater photography.  This is also due to less vary of options for underwater setup currently available. Hence, most people still have hesitance to 'try' this new technology or completely shifting from 'common' DSLR to different world, the mirrorless systems.  Currently there have been three serious players in mirrorless technology, Sony and the mirco four third (MFT) gank leaders, the Olympus and Panasonic, while Canon and Nikon are trying to catch up.

Among the few options in mirrorless technology, Olympus and Panasonic is starting to be more serious to grab more market share. Within last couple of years, they have been introducing some of their new product line of cameras, the OMD and Pen series (Olympus) and G series (Panasonic).

Ok, I will stop here talking about the current situation of underwater photography around the globe. I will jump right in to share my experience using the Olympus OM-D E-M5 for my underwater photography.

My Olympus OM-D E-M5

Olympus OM-D E-M5 is new flagship camera from Olympus which was released in 2012. Although it was released quite sometimes ago, this camera still has the more advance technology compared to most cameras today, let's say touch screen, 5-axis stabilization, and super fast AF. When it comes to underwater photography, Olympus makes this camera a serious contender for existing leading camera brands (Canon, Nikon, and Sony). Olympus has released underwater housing for this, including dome and flat ports. In the other hand, Nauticam and Ikelite also have been joining to provide more housing options for OM-D E-M5 to the market. Moreover, both of the third party brands including Zen and Inon have released various options for fisheye, wide angle, and macro port for the existing housing.

Currently I consider myself a wide angle enthusiast. My personal setup for OM-D E-M5 is:
- Lens: Olympus Zuiko 8mm Fisheye Pro f1.8
- Olympus Housing PT-EP08
- Inon Dome Port EP02
- Strobe: YS-D2 and YS-25 Auto.

This is my first interchangeable lens underwater camera, an upgrade from my previous Canon G16. Hence, I cannot compare the OM-D E-M5 to other camera in the same segment.

General Impression

In general, OM-D E-M5 is a great underwater camera, especially when it coupled with high quality lens. I use the Olympus Zuiko 8mm Fisheye Pro f1.8 which is I'm very satisfied with the quality. The OM-D E-M5 is one of the fastest AF in the market, and I found this very useful when taking photograph underwater. You will not missed important moment, or when trying to capture a fast moving animal like the anemone fish. As you see below, I managed to capture important moment which only occurred in split seconds. What I have to do just aim and press the shutter, and let the camera thinking about the focus.


This pipe fish was captured in split second, he came at the right moment. The AF work flawlessly to capture the fish in focus (F14, 1/250).

This photo was taken very quick. I didn't have much time to compose and lose this sweet moment. I aimed my camera and fire. Impressively, the exposure is perfect, and the focus landed on the seahorse as I expected (F11, 1/125).


In terms of image quality, OM-D E-M5 produced excellent images. I found the color accuracy is amazing, even by only using auto white balance with strobe underwater. Coupled with the Olympus Zuiko 8mm Pro, this camera produced excellent fisheye image, sharp and beautiful color. I use RAW+Jpeg most of the time shooting underwater. This is important to be able to adjust the white balance later on. However, since the color accuracy is great, I rarely change the white balance during post processing.

In terms of battery performance, I can do 3 consecutive dives a day without any warning of low battery, which is also very pleasing. Even you can push it for the 4th dive (if you will) with some juice left at the end of the day. The best way to use OM-D E-M5 for underwater is of course using off camera flash strobe(s). This camera is able to set to the manual flash setting. Even we can set the power down to 1/64, which is very useful to reduce the battery drain. My personal setting is at 1/8 of flash power, although lower power still works well to trigger the off camera flash strobes.  I do have backup battery, but I've never use it at all.

Overall, I have no complain and very satisfied with this setup. Once again, this camera delivers excellent image quality, low noise, color accuracy, excellent battery life, and one of the most important thing is the very fast AF. However, it's important to note that you need a high performance SD memory card, to make sure smooth operation when you record in RAW file format.

Video performance is also no question about it. Altough it can only record up to 30fps fullHD movie, but the result was still amazing. Using the M. Zuiko 8mm fisheye lens we can create a unique close focus wide angle video. As most of underwater camera, it struggles to get perfect white balance without color filter or by manually adjusting the white balance. I'm not very much into video, but below is one sample footage that I took in Manado, North Sulawesi.



If you consider to get this one, there are several guides available online. This is one of the very good reference: http://www.uwphotographyguide.com/olympus-omd-em5-best-underwater-settings.

You can find more photos from my camera here and here

For other technical features of this camera, please refer to piles of references available online.

Please feel free to drop your comment and question.

Busy reef at Bunaken (F13, 1/250)

Healthy reef of Bunaken (F13, 1/250)

Lovely fisheye effect from the M. Zuiko 8mm Pro fisheye lens (F11, 1/250).

Advantage of fisheye when photographing the whole ship wreck. 
The M. Zuiko 8mm pro produced a pleasingly sharp image (F2.8, 1/100). 


Olympus PT-EP08 Housing and Inon EP02 Dome Port

Wednesday, March 30, 2016

Review Mares Avanti Quattro + (open heels fins)

Jika ada pertanyaan 'Alat apa sih yang paling penting dimiliki oleh seorang penyelam/diver?', jawabannya adalah: 'semuanya penting'. Semua alat dasar/standar untuk kegiatan menyelam dan SCUBA Diving, memiliki fungsinya masing-masing. Semua memiliki peran yang sama dalam mendukung agar kegiatan menyelam dapat dilakukan. Akan tetapi, sebagian dari alat-alat tersebut memiliki fungsi tambahan, diantaranya sebagai 'life support'. Salah satu alat selam yang mungkin paling sering menjadi pertimbangan dalam memilih adalah fins (kaki katak).  Dalam kegiatan menyelam yang umumnya selalu dilakukan di alam terbuka, keputusan dalam memilih fins menjadi sangat krusial. SCUBA diving misalnya, merupakan kegiatan di alam terbuka, dimana faktor lingkungan cenderung sulit untuk dikontrol, salah satunya arus. Saat melakukan kegiatan SCUBA diving di daerah berarus kuat, peran fins menjadi sangat krusial bagi seorang penyelam. Fins yang baik dan sesuai, setidaknya dapat membantu anda untuk menyelam di daerah berarus kuat, sekaligus memastikan anda dapat kembali ke tempat semula.

Bagi orang yang baru terjun di dunia diving, berbagai bentuk dan desain fins mungkin hanya dianggap sebagai masalah perbedaan model dan harga semata. Tapi bagi anda yang sudah cukup lama berkecimpung di dunia selam, anda pasti sangat faham betapa benda ini merupakan salah satu yang sangat menentukan kesuksesan penyelaman.

Baiklah, saya termasuk orang yang memiliki 'perhatian lebih' dalam memilih fins untuk kegiatan SCUBA diving saya. Penting bagi saya untuk memiliki fins dengan performa maksimal. Performa yang saya maksud adalah: efektivitas (stress vs speed), bobot (untuk kemudahan saat traveling), kenyamanan, kualitas bahan, tampilan, dan terakhir tentunya...harga.. :D.

Kali ini saya ingin membahas salah satu fins yang sekarang menjadi favorit saya, yaitu Mares Avanti Quattro +. Perlu proses cukup lama, sampai akhirnya saya memutuskan untuk memilih fins ini. Banyak sekali jenis fins di pasaran saat ini, dengan beragam teknologi, desain, warna, dan harga.  Dulu sekali, salah satu fins favorit saya adalah Aqualung Stratos open heel (tahun 2003-2009).  Sebuah fins panjang dengan desain hampir persegi, tidak menarik untuk dilihat, tetapi memiliki performa luar biasa saat dikayuh.  Sayang sekali fins tersebut saat ini sepertinya sudah tidak lagi tersedia di pasaran.

Dua tahun lalu saya memutuskan untuk membeli fins SEAC ProPulsion, fins dengan desain sederhana, dengan 3 channel.  Fins ini memiliki review beragam, dari yang baik hingga biasa-biasa saja.  Akan tetapi karena adanya program promo, akhirnya saya putuskan untuk membeli fins ini. Dan saya akui, ini bukan keputusan yang bijaksana. Fins ini walau bertenaga ternyata berat dan tidak terlalu cepat saat dikayuh melawan arus. Selain itu, fins ini cepat sekali membuat kaki saya kelelahan. Fins ini juga memiliki kualitas bahan yang kurang baik, kurang dari 2 tahun fins tersebut sudah mengalami gejala robek.. :((.

Pencarian pun berlanjut, sempat hampir membeli Tusa Solla open heel, tetapi ragu. Akhirnya entah bagaimana seseorang menganjurkan saya untuk mencoba Mares Avanti Quattro. Baiklah, akhirnya saya mencari informasi kesana kemari. Cukup mengagetkan, ternyata fins ini mendapatkan review yang selalu baik (4-5 stars).  Selain itu, di foto2 dan video yang tersebar di internet saya cukup sering melihat orang menggunakan fins ini. Bahkan konon, ini adalah fins yang paling banyak terjual di pasaran, dan banyak digunakan oleh para dive master/dive guide. Wow! Bagi saya, informasi-informasi tersebut sudah cukup untuk memastikan bahwa ini fins favorit banyak orang. Katanya, fins ini memilik performa yang sangat baik di semua kondisi penyelaman...berarus, tenang, ataupun berbagai jenis 'kicking'.

Keputusan saya tersebut kali ini ternyata tepat. Mares Avanti Quattro + memang fins yang luar biasa. Pengalaman saya dengan fins ini adalah:
- Sangat baik saat harus melawan arus
- Pocket sangat nyaman di kaki
- Tidak membuat kaki kram
- Tidak terlalu berat
- Bungge strap yang bikin gak pake ribet saat harus pasang dan lepas fins.

'Real life experience' adalah saat saya menyelam di Wakatobi (tepatnya di secret garden/shark point di pulau Wangi-wangi). Saat itu kami drifting ke kedalaman 25 meter untuk melihat black tip reef shark. Shark memang suka di tempat berarus. Kesulitan terjadi saat harus kembali ke kapal, karena dive guide mengajak kami pulang melalui jalur yang sama dengan melawan arus. Saat itulah kemampuan dan nama baik Mares Avanti Quattro diuji dan dipertaruhkan. Saya pun mengayuh mengikuti rombongan untuk kembali ke kapal, beranjak dari kedalaman 25 meter.  Saat itu ada 6 orang penyelam, 4 penyelam turis (termasuk saya), 1 dive leader dan 1 sweeper. Dive leader dan sweeper ternyata menggunakan fins yang sama dengan saya. Tiga penyelam lainnya menggunakan fins aquabionic warp, sea quest model lama, dan split fins tidak jelas.  Akhirnya 'racing' pun dimulai, semua berusaha keras untuk maju melawan arus yang wow kerasnya. Kelompok depan diisi oleh mares, aquabionic, dan seaquest. Teman saya yang menggunakan split fins (pinjaman), tertinggal jauh di belakang...ditemani oleh sweeper.

Ini bukan membandingkan performa 3 jenis fins yang 'sukses' melawan arus, tetapi bercerita mengenai betapa Mares AQ+ adalah fins yang didesain dengan sangat serius.  Sampai di lokasi aman, saya memang kelelahan. Udara dari 130 bar langsung menyusut ke 50 bar hanya dalam hitungan kira-kira kurang dari 3 menit (kalau tidak salah). Tetapi yang pasti, Mares AQ+ berhasil membawa saya kembali ke kapal, dan kaki tidak mengalami kram seperti saat dulu menggunakan SEAC ProPulsion. Dengan kayuhan cepat maupun kayuhan pelan dan lebar...fins ini tetap 'gagah' membawa saya maju menerjang arus.

Disitulah akhirnya saya benar-benar mengakui kehebatan sang Mares AQ +. Bahkan, teman yang menggunakan aquabionic pun berfikir untuk membeli fins mares ini.  Setelah diatas kapal, kami pun ngobrol santai membahas acara diving tersebut, dengan fokus pembicaraan masalah hiu dan fins.  Dive leader dan sweeper pun berbagi pengalaman mereka tentang kehebatan fins satu ini.

Sebagai tambahan, aquabionic juga merupakan fins dengan review performa yang sangat baik. Untuk SeaQuest model lama, dulu saya pernah mencobanya beberapa kali, dan seingat saya fins ini juga memiliki performa yang sangat menjanjikan (tetapi sepertinya sudah tidak diproduksi lagi).

That's all folks! Semoga tulisan ini bermanfaat dalam membantu memilih fins, dan semoga tidak membosankan.



Wednesday, October 22, 2014

MY TIP FOR TRIP TO MALDIVES




Sejak video ‘menghebohkan’ ARB dan MZ jalan-jalan ke Maldives ‘ditayangkan’ di berbagai sosial media dan youtube, Maldives menjadi salah satu sorotan banyak orang di Indonesia, termasuk saya tentunya (hehe). Maldives, adalah salah satu tempat wisata bahari di dunia yang identik dengan kata ‘wow’, lengkap dengan brand nya yang mewah dan mahal.

Yang ada di pikiran saya saat melihat tayangan video tersebut adalah: “wah hebat bisa jalan-jalan ke Maldives, kapan ya bisa punya uang banyak dan bisa pergi ke sana?”. Fikiran tersebut berubah sejak kira-kira bulan Juli yang lalu, saat iseng mencari informasi mengenai biaya perjalanan dan akomodasi di Maldives. Ternyata….tidak semahal yang dibayangkan selama ini. Don’t get me wrong, perjalanan ke Maldives itu mahal, tetapi tidak perlu menjadi orang sekelas ARB untuk bisa pergi ke Maldives…kita semua bisa kalau ada kemauan untuk menabung. Baiklah, mari kita sepakati bahwa yang saya maksud diatas adalah ‘relatif murah’ jika dibandingkan dengan bayangan selama ini, tetapi masih cukup sebanding dengan liburan ke Bali selama 7 hari dan menginap di hotel cukup mewah.

Langsung pada inti permasalahan, jadi saya menemukan bahwa ada maskapai penerbangan yang melayani rute Jakarta-Male (ibukota Maldives) via Singapore hanya dengan Rp. 2 jutaan satu kali trip. Nah lho…kalau ini saya yakin semua setuju kalau dibilang murah ya? Haha. Jadi total pulang pergi Jakarta-Maldives-jakarta adalah sekitar 4 jutaan++.

Haha, sebagian dari anda pasti mulai berfikir…ah mengada2 nih si oom, ngarang bebas. Atau anda berfikir ‘ah..paling hunting tiket promonya gila2an sampe dapet harga serendah itu. But let me tell you, it’s not hoax. Nggak percaya? Silahkan cek sendiri di website Tigerair… J.

Yang namanya jalan-jalan tentunya tidak luput dari beban akomodasi. Beberapa orang yang pernah memiliki informasi tentang Maldives akan bicara…”ajegile..hotel/resort di Maldives kan mahal banget?”. Anda benar, itulah Maldives, nama yang dijaga prestise nya sebagai tempat liburan mewah kelas berat. Bayangkan, harga menginap di sebuah kamar hotel resort bisa berkisar dari 2 juta sampai 50 juta per malam! Amazing ya? Haha. Tidak aneh, hanya selebritis kelas dunia, orang-orang super kaya, dan raja-raja minyak timur tengah yang biasa berlibur di tempat ini. Salah satu teman yang saya kenal di Maldives bercerita, pangeran-pangeran dari timur tengah sudah bisa mengadakan ‘pesta’ di Maldives, menyewa satu resort full, mengudang teman-temannya, sekaligus mendatangkan puluhan wanita penghibur kelas atas. Waawww…what a life ya? Hahaha

Tapi sabar dulu, itu adalah gambaran Maldives beberapa tahun yang silam. Sekitar 2-3 tahun yang lalu Maldives mulai menerapkan konsep baru, dimana masyarakat setempat boleh berinvestasi mendirikan penginapan di pulau-pulau berpenghuni. Oh ya, Maldives adalah Negara muslim, kegiatan hura-hura itu dilarang keras. Kegiatan-kegiatan yang bernuansa ‘duniawi’ hanya boleh dilakukan di resort yang ada di pulau tak berpenghuni, yang umumnya disebut ‘resort island’.

Akan tetapi kini, penginapan-penginapan lokal dan harga super miring mulai menjamur. Harganya bisa 1/20 lebih murah. Salah satu contohnya penginapan-penginapan di Pulau Maafushi, kira-kira 1,5 jam perjalanan ke Selatan menggunakan ferry dari Ibu Kota (Male City). Saya pribadi mendapatkan penginapan yang harganya cukup realistis, yaitu sekitar 800rb per malam, hotel yg baru, bagus, dan memiliki pantai pribadi. Dan banyak hotel-hotel lain yang lebih murah tentunya.

Ini adalah konsep baru yang diterapkan di Maldives, dimana pemerintah mengizinkan adanya kegiatan wisata di pulau berpenduduk. Akan tetapi tentunya ada aturan-aturan yang harus ditaati, dimana wisatawan harus berpakaian sopan saat memasuki daerah perkampungan. Jika anda suka berbikini ria di pantai, itu hanya bisa dilakukan di lokasi tertentu yang telah ditentukan…tetapi tetap bisa kok.. J.

Baiklah, itu tadi adalah sepenggal kisah yang ingin saya bagi. Dibawah ini adalah beberapa tips/pengalaman dari perjalanan saya yang siapa tau berguna.

1. Tiger air mengharuskan menginap 1 malam di Singapore, jadi akan ada biaya tambahan…kecuali menginap di bandara Changi. Jadi siapkan mata uang dollar Singapore secukupnya.

2. Transaksi2 di hotel di Maldives dapat dilakukan dengan kartu kredit dan mata uang US dollar. Akan tetapi anda tetap perlu pecahan uang lokal (MRV – Maldivian Ruffiya) secukupnya. 1 US$ sebanding dengan 15 MRV. Pengeluaran dengan mata uang lokal diperlukan diantaranya untuk:

- taxi dalam kota (30-50 MRV).

- makanan-makanan kecil

- makan besar (50-100 MRV sekali makan)

- tiket ferry (30-50 MRV).

3. Di ibukota Male, tidak banyak yang bisa dilihat. Jika anda tidak merasa perlu berada di Mele, lebih baik langsung saja ke pulau tujuan. Note: kalau anda ingin berlibur di Maldives, bukan di Male tinggalnya...haha. Male hanya tempat transit sesaat saja.

4. Jika anda ingin menggunakan transportasi laut umum, pastikan anda tidak melakukannya pada hari Jumat. Pada hari Jumat, tidak ada transportasi ferry AKAP (antar kota antar provinsi), hanya ada angkutan ferry kecil dari bandara ke kota. Note: bandara nya terpisah dari ibu kota, lain pulau. Namun jika terpaksa, anda masih bisa menyewa speedboat pribadi yang harganya cukup mahal.

5. Maldives adalah negara yang cukup luas. Untuk perjalanan yang agak jauh, lebih disarankan menggunakan 'Sea Plane' (pesawat yang landing di air), atau maskapai penerbangan domestik.  Jika anda akan menggunakan sea plane, anda tidak perlu ke kota terlebih dahulu. Di airport terdapat terminal khusus sea plane.

6. Keamanan masih menjadi isu di kota Male, jadi berhati2lah dengan barang bawaan anda. Tidak disarankan keluar pada malam hari sendirian.

7. Suvenir bukan barang yang murah, dari semua tempat yang saya pernah kunjungi, rasa-rasanya Maldives lah yang paling mahal.

8. Hiburan yang bisa dilakukan di Maldives umumnya adalah wisata yang bahari yang berbasah-basah ria. Jadi pastikan dulu apa yang ingin anda lakukan disana sebelum memutuskan untuk berangkat. Kalau saya tujuan utama ke Maldives hanya satu, diving…hehe.

9. Cari informasi sebanyak-banyak terlebih dahulu sebelum berangkat.

10. Jika ada yang ingin ditanyakan, silahkan komen di bawah, mudah2an saya bisa menjawabnya,

*jika ada hal-hal lain akan saya tambahkan jika ingat.

Selamat berlibur…serta berburu tiket dan akomodasi murah J











Monday, October 13, 2014

REVIEW 'CHEAP BUT TOUGH' WATCH, THE Q&Q M102J

Pepatah bahwa 'harga tidak pernah bohong', mungkin tidak selamanya benar.  Pepatah diatas merupakan sebuah 'mainstream' yang menjadi sebuah 'kesepakatan' tak tertulis di masyarakat saat ini, yaitu barang yang mahal pasti berkualitas tinggi, dan sebaliknya barang murah pasti berkualitas rendah. Jika pernyataan saya diatas adalah sebuah hipotesa, maka hari ini saya telah membuktikan bahwa pepatah tersebut tidak selamanya benar.

Setidaknya hari ini saya membuktikan 'ketangguhan' sebuah jam tangan yang dapat dibilang 'murah meriah', yaitu Q&Q seri M102J.  Definisi mahal atau murah tentunya berbeda untuk masing-masing individu.  Akan tetapi untuk sebuah jam tangan digital yang diklaim memiliki daya tahan hingga kedalaman 100 meter di dalam air, harga jam tangan ini benar-benar murah.  Saya mendapatkan jam tangan ini dengan harga 180ribu rupiah saja, dan telah berhasil dibawa ke kedalaman air hingga 30 meter sebanyak 2x (skrg sudah 6x), dan kondisinya baik-baik saja. Bandingkan misalnya dengan jam tangan G-Shock yang harganya melewati 'angka psikologis' 2 jutaan.

Mungkin tidak adil jika membandingkan kedua jam tersebut diatas secara keseluruhan. Akan tetapi, saya mungkin sekarang adalah tipe orang yang cenderung bersikap 'pragmatis', yang artinya, semua didasarkan dari kepraktisan.  Alasan saya membeli jam Q&Q adalah untuk kebutuhan 'teman' menyelam dan mendampingi si dive computer Mares Puck.  Yang saya perlukan dari jam tangan saat menyelam adalah mengetahui jam berapa saat itu, dan mungkin timer/stopwatch...jika misal harus safety stop saat tidak ada divecomp, sederhana saja.

Terus terang awalnya agak tidak yakin saat memutuskan untuk membeli si Q&Q untuk jam menyelam.  Tidak yakin karena masih terpengaruh 'mainstream' pemahaman diatas.  Akan tetapi, bukan saya namanya jika mengambil sebuah keputusan tanpa melalui riset dan pengamatan yang panjang.  Akhirnya setelah membaca sedemikian banyak review, kemudian saya memutuskan untuk 'iya'. Saat itu saya pun berfikir, kalaupun ternyata harapan tidak sesuai kenyataan...setidaknya saya tidak pernasaran dan uang yang hilang pun relatif tidak terlalu banyak (red. 180rb saja).

Sebagai penutup dari tulisan tanpa makna ini, setidaknya ada 3 hal yang bisa saya simpulkan dan bagikan kepada banyak orang:
- bahwa tidak selamanya pepatah itu benar,
- tidak selamanya 'brand' atau merk berkorelasi positif dengan kualitas sebuah barang, dan
- lisensi Jepang merupakan jaminan kualitas.

Thank you





Thursday, June 12, 2014

Washburn N24 Review

This is my most wanted guitar.
I've been searching the Washburn N4 for months but didn't successful, so I ended up with the N24.
I got bargain price (it's not cheap..but worth it) from local retailer I found online, and it's a steal.

This is the best guitar I have so far. I decided to get the N24 as I admire Nuno Betencourt of Extreme.

So, I won't talk too much, here's the Pros and Cons about N24

Pros:
- The Look (natural finish)
- Playability:  Totally awesome.  I played for hours without any hand ache. Very comfortable in my hand
- Stephen's Extended Cutaways (SEC) tech. No more difficulties playing highest notes.
- Versatile guitar with various tone. Neck, Mid, Bridge for both humbucker and single coil (Coil tap)
- Sounds. It's sounds very Nuno. Screaming harsh sound with harmonics (at bridge position)
- Stable tuning
- Lightweight

Cons:
- Ackward floyd rose setup. If you pull all the way back....the string stuck at the bridge pickup (just need a proper setup)
- You might want to lubricate the volume knob...sometimes little bit scratchy noisy (that's my case)

Overall, I have no major complain....the best guitar I have so far, and I love it.


Monday, January 6, 2014

Dame Mind 700 Project

Dua hari terakhir ini saya lagi-lagi disibukkan oleh sebuah 'pencarian'. Sebuah pencarian yang dimulai sejak 2 bulan yang lalu, akan tetapi belum membuahkan hasil. Pencarian sebuah gitar! Yup, salah satu hobi yang mulai digeluti lagi, yaitu hobi membuat bising tetangga, bermain gitar..haha.

Setelah saya berhasil meminang Cort EVL-K5, sebuah gitar bersetting metal, 'hasrat' untuk 'berselingkuh' tiba-tiba saja muncul. Ternyata 'gairah' hobi musik ini tidak mampu terpuaskan oleh satu gitar saja. Saya membutuhkan rasa baru dari sebuah gitar, seiring dengan begitu beragamnya genre musik rock.

Don't get me wrong, Cort EVL-K5 adalah sebuah gitar yang 'ajib' punya. Bertubuh mahogany, 24 jumbo fret, dan 'dipersenjatai' dengan pickup EMG HZ, gitar ini benar-benar 'lihai' dalam 'melayani' saya memainkan lagu-lagu dari Metallica.

Akan tetapi, itulah manusia...diciptakan dengan memiliki nafsu. Kata nafsu identik dengan konotasi negatif, walaupun sebenarnya tidak selamanya. Nafsu lah yang menjadi energi untuk manusia hidup dan terus berkembang. Nafsu lah yang membuat roda ekonomi dunia berputar. Bayangkan jika manusia tidak memiliki nafsu, apa jadinya dunia ini...tentu sangat membosankan. Karena nafsu lah manusia terus mengembangkan teknologi, karena nafsu lah manusia membeli tas dan sepatu baru setiap bulan, bahkan karena nafsu lah manusia terus berupaya mengeksplorasi luar angkasa. Ahh, cukup sudah pembahasan tentang nafsu...tulisan ini tidak bertujuan ke sana.. :).

Kembali ke pencarian, seiring dengan 'kebutuhan' saya untuk memainkan genre musik lain, maka saya pun mulai melakukan pencarian gitar ke-2. Setelah melakukan riset yang cukup panjang...pilihan pun jatuh ke Cort M600, sebuah gitar cantik dengan desain model PRS. Mengapa gitar ini? Karena Cort M600 sepertinya di desain untuk genre musik lainnya seperti rock klasik, blues, bahkan metal pun bisa jika mau. Dan yang pasti adalah, model nya sangat cantik.

Akan tetapi, setelah berburu selama 2 bulan kesana kemari...tidak ada satu pun toko online yang memiliki stok gitar ini...habis bis bis....aneh. Proses pencarian pun sempat terhenti hingga dimulai lagi 2 hari yang lalu. Iseng membuka-buka laman web, browsing, surfing....seseorang menawarkan Cort M600 seken di kaskus. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengontak sang penjual via Whatsapp....dan jawaban nya adalah 'wah sudah kejual mas'. Yahhhh...lagi-lagi kecewa.

Akan tetapi sang penjual ternyata menawarkan opsi lain. Sebuah gitar yang sumpah demi Allah SWT saya baru mendengar merk nya. Yaitu gitar Dame. "Whatt?? Gitar apa itu??. Sang penjual pun mencoba peruntungannya dengan mengirimkan beberapa foto gitar tersebut. Tidak lupa dengan mengirimkan spesifikasi nya. Wah, kalau lihat spek nya...sepertinya cukup high end...dan ditawarkan dengan harga yang boleh dibilang murah dibanding harga pasaran pada umumnya. Bahkan sang penjual menambahkan bumbu-bumbu promosi (namanya juga penjual), bahwa dari segi finishing, playability, sustain, sound quality gitar ini jauh dari sang M600 yang saya cari sebelumnya. Dan jawaban saya saat itu adalah: "Ok mas saya pelajari dulu ya, saya cari info dulu soal gitar ini". Dan riset pun dimulai....

Setelah melewati beberap klik mouse...saya pun akhirnya menemukan fakta bahawa Dame adalah merk gitar yang hanya dibuat untuk kebutuhan pasar dalam negeri Korea (oh noo...Korea lagi...An-Yong-Ha-Se-Yo). Lalu jika hanya untuk pasar Korea...mengapa gitar ini berkeliaran di Indonesia? Ternyata jawaban nya sederhana, gitar ini dibuat oleh pabrikan di Indonesia, tepatnya di Cileungsi.

Hmmm, Dame membuat saya tertarik. Sayang nya karena sebenarnya ini bukan untuk pasar Indonesia, jadi hampir tidak ada orang Indonesia yang pernah memakai sekaligus mereview gitar ini. Bahkan di youtube pun hampir nihil...ck ck ck. Baiklah, dugaan awal saya...karena ini untuk pasar Korea...asumsi nya adalah kualitas gitar ini seharusnya bagus...terlebih lagi ini buatan Indonesia...sudah pasti bagus...(ini serius!).

Sebagai informasi, sebagian besar produk gitar yang bertebaran di dunia, diproduksi di Indonesia. Sebut saja Ibanez, Cort, Fender, Samick (dulu kala)..dan lain sebagainya. Bahkan salah satu pabrikan gitar yang baru berkembang, mendapatkan penghargaan dari Guitar Planet sebagai gitar terbaik dunia tahun 2012, yaitu gitar Rick Hanes. Rick Hanes adalah pabrikan gitar yang berlokasi di Sidoarjo. Untuk informasi selanjutnya, silahkan tanya mbah Google.

Informasi selanjutnya yang saya temukan adalah bahwa gitar Dame yang berkeliaran di Indonesia tidak dibuat sesuai dengan spek standar untuk Korea. Bahkan, dari beberapa penjual yang menawarkan gitar ini, mereka menawarkan spek yang berbeda-beda. Sepertinya dibuat custom sesuai dengan kebutuhan dan target pasar yang mereka kejar. Fakta ini membuat saya kembali pusing.



Akan tetapi fakta ini justru membuat pencarian ini semakin menantang. Baiklah kalau begitu…akhirnya saya putuskan untuk mencoba merk gitar ini. Saya pun memutuskan untuk mengambil Dame seri Mind 700, dengan desain model Les Paul. Walaupun awalnya saya mencari model PRS, tetapi tak apa lah. Saya pun memutuskan untuk membeli gitar ‘kosongan’. Kosongan artinya, hanya membeli body gitar saja. Hasil perhitungan saya, biaya total gitar tersebut jika telah lengkap nantinya akan mencapai 2,4 juta, dengan spek yang diatas rata-rata. Angka ini masih tergolong murah dibandingkan dengan gitar yang ada di pasaran, dengan spesifikasi yang serupa.

Spesifikasi yang saya pilih untuk melengkapi gitar ini nantinya adalah:
- Bridge tuner-o-matic gold: 175rb
- Potensio 25k (4 pcs): 140rb
- Knob (4 pcs): 40rb
- Pickup: Seymour Duncan SH-1n (neck) dan SH-4 JB (bridge): 1,1jt
- dan pernak-pernik lainnya (kabel, jack, senar, dsb.)



Jika asumsi saya benar bahwa kualitas gitar ini bagus, dan jika saya berhasil membuat gitar dengan kualitas diatas rata-rata, maka ini akan menjadi sebuah ‘kesuksesan’ besar dari pencarian saya.

Kemudian, saya pun membeli sebuah gitar kosongan dari seorang penjual terdekat, yaitu Depok. Setelah saya mencoba salah satu gitar disana, ternyata gitar ini memang boleh dibilang baik. Sangat nyaman digunakan, kualitas suara bagus, dan finishing yang cantik. Setidaknya sebagian asumsi saya tidak salah. Tahap selanjutnya adalah membeli semua kelengkapan diatas, sekaligus mencari jasa servis pemasangannya.

Wish me luck! Saya akan update terus perkembangan proyek Dame Mind 700 ini.  Hasil akhirnya pasti akan saya ceritakan nanti.

See you... :)

Friday, January 3, 2014

Judas Priest - Where the hell have I been??


Semua berawal dari ketidak sengajaan saat bersurfing ria di Youtube.
Saat mata saya terantuk pada 1 judul video, "30 Shredders in One Solo".
This video really blows my mind (see below).
Video ini dibuat sebagai guitar cover dari 30 gitaris ternama dunia, sekaligus menjelaskan beberapa keunikan teknik bermain gitar dari masing-masing mereka.


Saat pembahasan jatuh pada K.K. Downing (gitaris Judas Priest), komentar di dalam video berkata seperti ini "If you really really don't like the Priest, then you should ashamed of yourself..."  Kalimat ini membuat saya penasaran... "memangnya kenapa?".  Saya pun lalu berselancar di internet, mencari informasi sekaligus 'mencuri' (sorry for that) album the best Judas Priest dari torrent, berjudul Living After Midnight.

Setelah proses unduh selesai, kemudian saya memasukkan semua lagu ke playlist Windows Media Player (WMP). Oh ya, saya pengguna lama Itunes, akan tetapi saya selalu men'screening' lagu-lagu 'baru' sebelum dibenamkan kedalam library Itunes. Hanya lagu-lagu yang cocok dengan telinga saja yang 'berhak' masuk ke Itunes library.

Sebanyak 18 lagu sudah berbaris di playlist WMP.  Saya klik dan play lagu pertama, dan kesan saya..'enak juga'. Beralih ke lagu ke2, hmmm 'asik beat nya'.  Proses ini terus berlanjut ke lagu nomor 3,4,5 dan seterusnya. Saya kaget, 'waw...enak-enak juga lagu nya.  Tidak banyak artis/band yang membuat album The Best dan lolos seleksi telinga saya (FYI: telinga saya payah....dengan selera musik yang alakadarnya).  Tetapi Judas Priest have made it! Semua lagu di album tersebut, boleh dibilang...WAW.

Salah satu lagu hits Judas Priest (Living After Midnight)

Judas Priest adalah band lawas (saya pun baru tahu beberapa saat yang lalu dari Wikipedia :p), dibentuk tahun 1969 (ABG, angkatan babeh gue). Mengusung aliran hard rock/heavy metal...konon kabarnya...Judas Priest adalah 'menu' wajib bagi pencinta musik aliran ini.  Komentar saya setelah mendengar lagu-lagu mereka pertama kali adalah: "yes, it's true". Menurut saya Judas Priest menjadi salah satu band yang membangun pondasi dari musik hard rock/heavy metal saat ini...it's classic rock dude!  Lalu yang menjadi pertanyaan saya berikutnya 'kemana saja saya selama ini?'.  Cukup sering mendengar nama Judas Priest, tetapi belum pernah tertarik mendengarnya. Baru lah hari ini hal itu terjadi.

So...ini hanya sekedar berbagi saja.. Buat anda yang 'mengaku' penggemar musik rock (apalagi penggitar) tetapi belum pernah mendengar Judas Priest....you should! Dan tentu saja...'shame on me'...

Satu lagi lagu personal favorite saya...


dan salah satu Youtube cover saya :D




Cheers

Info tentang Judas Priest: http://en.wikipedia.org/wiki/Judas_Priest

Blogspot, re-visited

Setelah hampir 1 tahun vacuum (bukan cleaner)...blog yang sempat 'dikubur' sementara ini akhirnya kembali dibuka...  *ga usah tepuk tangan biasa aja lah... :)

Menurut saya, ini adalah salah satu dari sekian banyak blog di dunia, yang isinya sangat tidak terstruktur...tanpa tema...tanpa konsep...dan yang terburuk adalah....tanpa dedikasi... *halahhh

Hari ini masih hangat2 nya perayaan tahun baru 2014...new year...(and then so what)? :D
Sebagian orang menikmati pergantian tahun dengan berbagai cara, yang penting seru. Dari yang sekedar kumpul bersama teman, keluarga....dari yang sekedar ngobrol ditemani makanan ringan....dari yang bakar2 ikan atau sejenisnya....hingga yang ber'dugem' ria....bahkan konon kabarnya tidak sedikit yang merayakan pergantian tahun dengan 'giving up their virginity'....(waawwww)....  Anyway, inilah dunia saat ini :).

What about me? Saya termasuk orang yang tidak tahu cara bersenang-senang (setidaknya bersenang-senang dengan cara 'keren'). Pergantian 2013 ke 2014 saya habiskan di depan TV sambil menikmati beberapa film dari DVD (bukan film dewasa....film normal-normal saja yang tayang di 21 ko').

Ditengah kejenuhan malam tahun baru, setelah suara ledakan-ledakan mesiu yang menggelegar di atas langit Kota Bogor mulai reda....tiba-tiba ide 'gila' pun muncul.  Tiba-tiba terbersit sebuah pikiran, "hmmm...kenapa tidak mencoba membuat sesuatu yang berbeda malam ini?"

Akhirnya tanpa fikir panjang...saya pun mengambil gitar kesayangan, si Cort EVL-K5...bersama pasangan setia nya...Amplifier Vox VT 20+. Yup, malam itu muncul ide untuk mebuat sebuah arransmen untuk lagu yang paling abadi sepanjang masa....Auld Lang Syne...lagu wajib di setiap malam tahun baru.

Singkat cerita, proses dimulai dari pengumpulan ide dan konsep...tidak pakai lama...konsep arransmen yang saya pilih untuk lagu Auld Lang Syne adalah Punk Rock. Kenapa Punk Rock? Karena itu yang paling mudah.... (baca: paling cocok buat pemusik paling amatir sedunia).  Proses pun dilanjutkan dengan 'check sound'...memilih sound yang paling pas (di telinga saya), diikuti dengan latihan beberapa kali.  Setelah itu...aksi pun dimulai.  Kamera video, Nikon Coolpix P310 pun disiapkan diatas tripod. Pengambilan video dilakukan dua kali, satu untuk rhytm, dan satu lagi untuk lead guitar.Skip...skip..skip....setelah melalui beberapa 're-take'...video pun selesai sudah.

Tentunya tidak berhenti sampai disitu....video pun harus naik ke proses editing (so keren banget bahasa nya). Dengan menggunakan alat bantu perangkat lunak Corel VideoStudio Pro X5 proses editing pun dilakukan. Ternyata proses editing tidak berjalan mulus, si Corel beberapa kali mengalami 'crash'.  Dugaan awam saya, sepertinya dia tidak sanggup menggarap 2 file video berukuran raksasa sekaligus.  Proses yang seharusnya mudah, akhirnya menjadi 'menjelimet'.

Sound dari masing-masing video harus dipisahkan dulu...menjadi file audio, yang kemudian digabung menggunakan perangkat lunak Audacity.  Setelah itu, proses dilanjutkan kembali di Corel.  Maaf terlalu 'menjelimet' untuk dideskripsikan...tetapi intinya...berhasil juga.  Sebuah video 'narcis' yang ala kadarnya....sebagai media untuk mengucapkan selamat tahun baru kepada teman dan kolega.

Here it is: http://www.youtube.com/watch?v=HrxbcaT16cU



Cerita punya cerita..pagi tadi...saya menemukan fakta baru.  Saya mencoba menggunakan perangkat lunak editing video lain, yaitu Pinnacle Studio Ver 15.  Waw...ternyata ini yang saya cari selama ini. Dari beberapa yang telah saya coba, rasa-rasanya Pinnacle yang terbaik.  Proses operasinya cepat, mudah, dan yang jelas stabil...selamat tinggal 'crash'.  Dengan Pinnacle, saya mencoba membuat versi lain dari video yang sama...dan hasilnya... NOT BAD!!

Here it is: http://www.youtube.com/watch?v=ovCPmfB3caM



Sekian dan Terima Kasih


Saturday, January 19, 2013

My Yamaha Soul GT Street Series (kesan 75 km pertama)

Baiklah tidak perlu panjang lebar....ini lah daftar kesan saya setelah menerima Soul GT baru saya dari dealer dan berjalan-jalan sejauh total 25 km.  Bahan bakar saya isi Pertamax milik Pertamina.


Kesan positif:

1. Ketakutan saya akhirnya tidak terjadi. Awalnya saya cukup khawatir dengan beberapa review dan keluhan di blog...ternyata masalah tersebut tidak terjadi pada Soul GT saya... Alhamdulillah...mudah-mudahan untuk seterusnya.

2. Tarikan memang smooth tidak terlalu menghentak...tetapi akselerasi hingga 60 kpj memang baik. Sayang karena masa indreyen...belum berani terlalu menggeber maksimal...ditambah lagi lintasan tidak memungkinkan.

3.  Lincah dan handling mantap. Dibawa ke jalan ramai...Soul GT lincah dikendarai..ringan di tangan, dibawa menikung saat lari sangat enak dan stabil, akeselerasi untuk nyalip-nyalip kecil di tengah kemacetan...cukup baik...tidak menghentak tetapi meluncur mantap.

4. Lari di jalan agak menanjak, terasa bertenaga...ada motor Mio Soul/Sporty anak gaul yg lagi geber2an hampir saya overtake di tanjakan kalau saja dia dia tidak menutup racing line nya...maklum di belokan...ada marka jalan dilarang menyalip....hehehe.

5.  Suara mesin halus, getaran mesin juga halus. Saat berdiri dengan standar tengah memang terasa sedikit bergoyang2 getar...tetapi saat sudah diduduki dan dijalankan...smootthhh....

6. Lampunya terang (ini jelas subjektif karena saya membandingkan dengan Vega R 2005 saya yang cahaya lampu nya ogah-ogahan)...hehe.

7. Motor ini ringan untuk digiring2 dan mudah saja saat harus memasang standar tengah.


Nah, untuk kesan negatifnya menurut saya adalah:

1. Memang...suspensi/shock Soul GT ini terbilang keras. Entah karena karakter shock nya memang demikian, atau karena ban nya yang terlalu kecil. Beberapa reviewer bilang bahwa ini adalah hal yang harus dikorbankan agar handling motor ini tetap stabil di kecepatn tinggi...  Lewat jalan non hot-mix...haduh tangan bergetar...jadi harus jalan perlahan.  Tapi tak apalah, lagi pula lebih baik jalan perlahan di jalan seperti ini...biar body awet ga gampang longgar...hehe. Mungkin nanti saat ban standar sudah gundul saya akan ganti dan naikkan 1 nomor menjadi 80/90 (depan) dan (90/90) belakang. Atau mungkin ganti diameter velgnya?? :D *entahlah

Update: mungkin karena dulu masih baru....shock depan blum terlalu lentur...sekarang sudah terasa lebih baik

2.  Bunyi klakson nya ga segagah tampangnya...hahaha..cempreng seperti punya masalah kepercayaan diri...wkwkwk.

3.  Switch lampu dim...tidak ergonomis... Ini hanya masalah feeling saja sih...terasa tidak enak saja dibanding model pabrikan lain. Tetapi mungkin desain ini lebih tahan hujan, karena air tidak mudah masuk ke celah (IMHO).

4. Rem settingan pabrik agak terlalu lembut (terutama rem depan), jadi perlu menarik rem lebih dalam jika ingin lebih pakem - Nanti minta di setting saat servis pertama.

5. Besi handel belakang tidak nyaman di tangan...terasa agak sakit saat saya akan menggeser motor ke samping (entahlah...mungkin kerena biasa dengan vega-R 2005 yang handle biasa saja..tidak berlekuk di bagian bawahnya - seandainya saja berlapis karet).

5.  Subjektifnya, riding position kurang cocok untuk saya yg 172 cm...agak harus menekuk punggung...jadinya buat saya bikin punggung cepat pegal. Mungkin hanya harus membiasakan saja setelah pindah dari motor lama yang model bebek.

6. (Update)  Ternyata coba lepas tangan ko ga bisa ya...lari ke kiri terus... Apa karakter matic
memang begini...berat ke kiri karena posisi CVT yang ada di sebelah kiri? (mohon tanggapannya)

7. Update: Top speed nya dibawah rata2...dari 80 - 90 kpj naiknya susah payah

Overall...secara umum...untuk sekedar keperluan rumah-kantor saya tidak salah memilih Soul GT untuk menemani keseharian saya antara rumah dan kantor.

Semoga berguna... Lebih kurangnya mohon maaf.  Tunggu saja review lanjutannya setelah STNK dan nopol nya keluar sehingga jarak jelajah tidak lagi terbatas...




Memilih Motor Baru, Pengganti si Biru (Jilid 2)

Lanjutan dari Jilid 1

Kali ini saya akan berbagi secara singkat mengenai proses saat saya memilih motor matic sebagai motor baru saya...sebagai lanjutan dari post sebelumnya (Jilid 1).  Saya akan membahas nya berdasarkan daftar kandidat motor matic yang saya sukai.

Sebelum membahas satu persatu....inilah daftar motor matic yang menjadi pilihan saya..saat di akhir tahun 2012:
- Yamaha Soul GT
- Honda Spacy Helm in FI
- Vario Techno Helm-in 125 FI
- Suzuki Hayate 125
- Suzuki Skydrive 125

Inilah kesimpulan subjektif saya pada saat mengumpulkan begitu banyak informasi dari dunia maya:

Yamaha Soul GT

Jelas ini adalah pilihan utama saya, karena alasan desain yang macho, teknologi injection YMJetFI, dek lebar, bagasi cukup.  Soul GT sudah hampir saya pinang, sampai akhirnya saya ragu gara-gara ada beberapa review tentang keluhan motor ini...terutama kasus getaran tidak wajar (katanya). Bahkan sampai ada yang ganti CVT dan bolak balik beres...masih belum 'beres'. Walhasil saya menjadi ragu.



Honda Spacy Helm-in FI

Honda Spacy...sempat menarik perhatian saya dulu kala...setelah meminjam punya teman di tahun 2011. Motor ini nyaman menurut saya (maklum terbiasa naik motor butut). Ini masuk prioritas ke-2 di pilihan saya, alasan utamanya bagasinya yang jumbo...body belakang nya gambot...terlihat sexy di mata saya (maklum namanya juga penggemar bokong besar...hehehe).  Reviewnya juga bagus, walau semox namun tetap lincah. Satu saja yang membuat sedikit ragu adalah karena desain nya yang aga2 kuno..kurang sporty..dan lagi-lagi masalah chemistry dengan brand nya yang bergambar sayap-sayap patah...:).



Vario Techno Helm-in 125 FI

Dari sisi desain, saya acungi jempol...ini motor futuristic design.  Ditambah dengan nama baiknya saat jaya di jaman karburator, plus lagi-lagi bagasi yang jumbo.  Walaupun harganya sudah melampaui batas psikologis budget saya (hahahaha...so iyeh gini istilahnya), tetapi saya sempat tergoda untuk meminang si Vartech ini. Saya sempat berfikir untuk mengambil yang non-CBS karena perbedaan harganya lumayan signifikan.  Akan tetapi setelah mengobrak abrik dunia maya...kok banyak sekali keluhan disana sini.  Ditambah lagi akhirnya ada teman kantor yang bawa motor ini...setelah saya coba...kok sepertinya agak kurang responsif di putaran bawah..terasa seaakan bensin tersendat.  Kemudian sang pemilik pun mengeluh mengenai busi yang rajin ganti sebulan sekali.  Mengenai suara ngorok, saya pun mendengarnya...agak aneh memang...tetapi buat saya sih sebenarnya bukan menjadi masalah utama. Kesan ini semakin diperburuk setelah saya menemukan sebuah Vartech baru sedang mogok di pinggir jalan. Ooow My God...apa yang terjadi??.  Akhirnya si Vartech pun saya coret dari dafter target saya. *sorry...



Hayate dan Skydrive 125.

Dua motor ini saya satukan saja pembahasannya...karena satu brand yang sama dan kelasnya identik.  Hayate sempat menarik hati saya, karena reviewnya bagus...performanya handal di semua putaran. Sayang dek nya yang tinggi (seperti Nouvo) membuat saya sedikit ilfeel....karena alasan saya memilih matic adalah dek nya yang serba guna.  Lalu saya beralih melirik Skydrive yang juga punya mesin 125 cc.  Desain nya ok...reviewnya pun cukup bagus. Hanya tinggal melihat aslinya dan merasakan chemistrynya.  Akan tetapi satu pertimbangan muncul....yaitu layanan purna jual.  Karena di dealer tempat saya melihat motor...tidak ada bengkel nya. Wawww....kok bisa?? Saya pun bertanya ke teman peengguna Suzuki, dia pun mengeluh dengan layanan after sales nya yang lemah. Dua bengkel resmi di dekat rumahnya tutup, sehingga kini dia harus pergi agak jauh jika harus ke 'beres'. Keluhannya unik, dia bilang seperti ini... 'Suzuki nggak kaya dulu, sekarang bengkelnya susah...udah mau bangkrut kayanya'...nah lho. Ok...saya tidak mau ambil resiko untuk pusing 7 keliling di kemudian hari. Lagi pula saya tidak menemukan dealer dan bengkel Suzuki yang berada di radius jalur rumah-kantor saya sehari-hari.  Kesimpulannya Suzuki saya coret dari daftar kandidat.




Setelah proses-proses diatas, pilihan pun menjadi tinggal dua...Soul GT dan Spacy Helm-in.  Wahh dua-dua nya seimbang...punya skor sama jika head to head...dengan plus dan minus nya masing-masing.  Sampai titik ini, saya kembali menunda keputusan saya...bingung...hehehe.

Kurang lebih 1 minggu saya pun off dari proeses memilih motor baru. Hingga suatu hari saya membuka website resmi Yamaha Motor Indonesia...tiba-tiba saja wajah Lorenzo terpampang disitu berdiri disamping sebuah motor matic merah yang tampak ciamik dan sporty.  Apa ini?? Ternyata awal Januari adalah kelahiran Skutik baru Yamaha, Xeon RC YMJetFI. Waaawww....mungkin ini yang akan jadi pilihan saya. Kenapa??...karena fiturnya canggih, sesuai dengan kebutuhan saya, dan yang pasti harganya lebih murah 1 juta dari Xeon lama.

Saya pun langsung sms ke kontak sales di dealer Yamaha dekat rumah, minta dikabari jika Xeon RC sudah datang ke kota saya.  Selang beberapa hari ternyata kabar itupun datang...sebuah sms di sore hari masuk....'Pak, Xeon RC yang baru sudah ada, kapan bapak mau lihat?'  Tidak pakai lama saya langsung membalas 'Besok pagi saya mampir ke situ mbak'. Yippeiii.....

Sampai di dealer...terpampanglah Xeon RC terkini berwarna putih-orange. Dan disampingnya berjejer 3 warna dari Soul GT Street Series, yang sekarang jadi terlihat jauh lebih fresh, sporty, dan sexy...namun tetap tampilan gahar dan macho.

Saya pun minta untuk lihat Xeon warna merah yang ternyata masih di gudang. Saya pun dipersilahkan melihat-lihat ke gudang.  Uhhhh...lihat foto dan aslinya...Xeon RC bener2 sexy...warna merahnya berani.  Oh iya, sebelumnya saya sempat berbincang dengan seorang ibu pengunjung yang begitu antusias saat berada di depan si Xeon RC.  Ngobrol-ngobrol...ternyata Xeon RC ini didesain oleh putra Indonesia aseli, yang juga ternyata adalah anak kandung sang ibu!! Wowwww..... Saya pun ngobrol agak lama, beliau sih sebenarnya yang banyak cerita mengenai anaknya (saya sempat tanya nama sang anak the designer...tapi saya lupa lagi...dan ternyata lulusan dari universitas yang sama dengan saya...wew...bangga lah).

Singkat cerita saya pun masuk ke gudang, melihat si Xeon Merah. Memang ciamik...  Tetapi entah kenapa, Soul GT Street putih merah di sampingnya tidak kalah menggoda nya....waduhhh....
Saya pun mencoba menaiki keduanya....bahkan minta menyalakan mesinnya..  Putar sana sini lihat dari segala sisi...antara dua pilihan ini. Kok lama-lama lebih sreg Soul GT Street ya...wkwkwk.

Saya pun memperhatikan lebih seksama...ternyata dek Xeon sedikit lebih sempit dibanding si GT.  Ditambah lagi lampu nya seperti kurang kedap, karena saya melihat butir2an air di dalamnya (atau di celah antara lampu dan body)...sepertinya terkena hujan saat diangkut dari pabrik dan titik airnya tinggal disitu... Nah lho!! Kenapa nih Yamaha ko begini???

Setelah menghabiskan waktu hampir setengah jam....diatara 2 pilihan..akhirnya saya pun mengambil KEPUTUSAN AKHIR....saya akan pinang si Soul GT!!!  Maaf bu, Xeon RC desain anaknya memang cantik, memang sebuah strategi 'perang' jempolan dari Yamaha untuk melawan dominasi Honda (terutama Vartech 125 nya), tetapi hati tidak bisa dibohongi...saya lebih suka Soul GT...hehehe.

Selesai sudah proses pencarian, sambil menyanyi lagu milik salah satu band ternama Indonesia....'akhirnya ku menemukan mu' (lebai mode on). Sebagai ringkasan, inilah poin-poin yang menjadi alasan kenapa saya menetapkan hati untuk 'meminang' Soul GT relatif terhadap kandidat utama lainnya:

- Pilihan jatuh ke matic Yamaha adalah karena pengalaman dengan brand ini, dan bengkel+dealer nya sangat dekat dengan rumah. Jadi ini adalah smart..tidak perlu jauh-jauh kalau ke Beres.Terlebih lagi saya fans berat Rossi dan Lorenzo...:D.
- Desain body...dari dulu sudah suka sih.
- Stripping baru versi Street...membuat nya terlihat semakin menarik dari versi aslinya.
- Harga jelas masuk rentang budget saya.
- Bagasi nya vs bagasi Xeon, tidak terlalu berbeda nyata di mata saya.
- Dek lebih luas...penting buat saya.
- Saya tidak membutuhkan (baca: tidak menginginkan) teknologi side stand switch nya Xeon, karena saya kalau keluar rumah selalu menutup gerbang sendiri...jadi malas rasanya kalau mesin motor harus mati dulu secara otomatis saat saya tinggalkan sebentar di pinggir jalan untuk saya menutup dan mengunci gerbang rumah saya...hehehe.
- Mesin 125cc Xeon awalnya adalah faktor yg membuat saya sangat berat untuk berpaling ke SOul GT...ditambah dengan desain karakter motor ini untuk yang hobi akselerasi dan kecepatan...tetapi sekali lagi..saya hanya butuh motor harian.  
- Mengenai beberapa keluhan Soul GT yang muncul di web/blog...menurut saya itu hanya beberapa kasus kecil saja. Lihat saja perbandingan jumlah posting mngenai keluhan Soul GT vs keluhan Vartch 125...keluhan Vartech ada dimana2...hehehe.

So, here we are...saya pun mendaftar untuk proses kredit...sambil menunggu beberapa hari kedepan untuk proses verifikasi data.

Demikian sharing saya....semoga berkenan...
Selanjutnya akan saya share mengenai kesan pertama mengendarai si Soul GT Street.....

Post sebelumnya Jilid 1

Memilih Motor Baru, Pengganti si Biru (Jilid 1)

Setelah lebih kurang 5 tahun bersama si biru motor Vega-R 2005...akhirnya pada tanggal 19 Januari 2013, sang pengganti pun datang.. the Yamaha Soul GT Street Series 2013.

Keinginan untuk memiliki motor baru sebenarnya sudah muncul sejak lama, akan tetapi karena berbagai faktor dan alasan prioritas, keinginan itupun baru terwujud hari ini. Membuat keputusan untuk membeli motor sebenarnya merupakan proses yang 'cukup melelahkan', dari membuat keputusan 'apakah perlu motor baru' hingga keputusan 'membeli motor apa?'.

Berikut saya share bagaimana sebenarnya proses pengambilan keputusan tersebut :))....

Di satu sisi keperluan untuk membeli motor baru sebenarnya bukan merupakan prioritas. Akan tetapi semakin hari si biru semakin terasa tidak nyaman lagi untuk tubuh renta ini...:D. Mesin nya kadang suka meletup (knocking), kadang batuk2 saat di putaran RPM tinggi untuk akselerasi.  Inilah yang membuat keinginan untuk membeli motor baru semakin membesar...

Sebenarnya saya hanyalah pekerja dengan jarak tempuh rumah ke kantor hanya lebih kurang 7 km, dengan karakter lalu lintas yang tidak terlalu padat (seperti Jakarta)..kepadatan terjadi hanya pada titik2 atau waktu dan hari tertentu saja.  Alasan ini membuat saya berfikir, 'ah untuk apa ganti motor baru..toh motor ini masih layak pakai dan tidak pernah mengeluh disuruh bolak balik ke kantor setiap hari'.

Keputusan untuk membeli motor benar-benar maju mundur...antara ya dan tidak. Kadang ingin sekali memiliki motor baru, kadang berfikir 'ah nanti saja'. Akhirnya saya pun membuat sebuah 'rule' agar saya tidak tiap hari dipusingkan dengan fikiran itu. Saya memutuskan, saya akan membeli motor baru jika dan hanya jika ada orang yang mau menyewa si biru menjadi ojek atau untuk keperluan sendiri.
Akhirnya entah dari mana, tiba2 ada teman kantor yang menanyakan apakah motor saya mau di sewa?  Wah...kebetulan...saya pun mengiyakan.  Tiga hari kemudian, saudara dari teman kantor pun datang ke kantor...menanyakan hal yang sama.  'This is it! fikir saya.  Akhirnya saya pun menyetujui motor untuk disewa oleh ybs dengan sistem bayar bulanan...dengan perjanjian:
- perawatan standar ditanggung oleh penyewa
- perawatan khusus atau ganti part ditanggung pemilik, kecuali ada kejadian khusus maka akan dibicarakan secara kekeluargaan...:))
- motor akan disewakan setelah saya memiliki motor baru...

akhirnya sepakat, berjabatan tangan...see u next one or two week :D. *Lumayan uang sewa nya bisa membantu meringankan beban cicilan motor baru nantinya... :D.

Satu masalah teratasi, tinggal masalah berikutnya....yaitu..saya mau pilih motor apa?? Wew...it's a simple question but difficult to answer saudara2... :D.

Baiklah..saya akan melanjutkan kisah ini, kali ini adalah proses yang saya lalui dalam menentukan motor baru yang akan dipinang....begini ceritanya...

Proses memilih calon motor baru sebenarnya sudah dilakukan 1-2 bulan sebelum hari ini. Hal pertama adalah menentukan pilihan antara (i) motor bebek atau (ii) motor matic.  Motor bebek menjadi target pertama dengan alasan, saya sudah biasa menggunakan motor bebek...jadi saya tidak berfikir untuk beralih ke matic. Proses memilih kandidat pun dimulai....

Saya menyempitkan target saya kepada motor bebek dari dua merek yang selama ini saya sudah kenal baik... Yamaha dan Kawasaki.  Yamaha adalah motor yang setiap hari saya pakai...dan saya puas dengan ke bandelan nya.  Kawasaki adalah motor bebek adik saya, yang ketika saya coba...saya kaget...motor nya nyaman sekali (ZX-130).  Untuk Honda, entah kenapa...saya tidak dapat chemistry nya :).


Untuk bebek Yamaha, sudah lama saya naksir Jupiter Z....reviewnya bagus...karakternya cocok dengan riding style saya yang sedikit suka geber2an di jalan...wkwkwkwk.  Akan tetapi tahun 2012 Jupiter Z sudah pensiun...dan digantikan oleh adik bungsunya New Jupiter Z1 yang mengusung teknologi Injection...wew.  Terget pun agak sedikit meleset...kenapa...karena harga Jupi Z1 yang sekarang 'naik kelas' menjadi diatas 15 juta. Sedangkan untuk bebek Kawasaki, jelas...target saya hanya satu, si empuk2 gahar....ZX-130. 

Galau, bingung....pilih siapa pilih mana...Jupi Z1 atau ZX-130.  Si Jupi tentunya lebih unggul di segi teknologi dibanding si Kawas ZX-130 yang teknologinya begitu2 saja. Tetapi saya tahu betul karakter ZX-130 yang benar2 nyaman dinaiki....dimana pertama kali saya menaikinya...saya langsung jatuh cinta.  Mesinnya yang besar, menjadi jaminan siap untuk mengasapi motor2 harian yang seliweran di jalan, bahkan dengan teknologi FI sekalipun...hahaha (maklum 130cc). Okay...mungkin ZX-130 layak dipinang.

Sayapun mengunjungi dealer Kawasaki di kota saya, saat itu sebuah ZX-130 berwarna biru sedang dipajang...tinggal satu-satunya, produksi tahun 2011 awal...waduhhh. Tanya2..harga OTR nya 13,5...tetapi jadi 14 juta kalau kredit.  Wah...price range nya masuk ke budget saya.  Hampir saja saya meminang si ZX-130...tapi setelah konsultasi dengan calon boncengers....ybs tidak suka warna biru...gawats.  Akhirnya saya pun mundur.  Tanya-tanya kemungkinan order warna merah, dealernya bilang harus indent...dan produksi keluaran 2012...yang harganya sudah melonjak mendekati angka 16juta. Oh tidak....  Ok...proses pemilihan di kelas bebek terpaksa ditunda dulu,

Lalu bagaimana dengan matic, apakah tidak ada ruang sebagai kandidat?  Jelas awalnya tidak..karena saya suka berakselerasi dengan menginjak gigi. Tetapi saya pun mulai goyah saat berfikir mengenai realitas sehari-hari yang hanya untuk pergi ke kantor.  Lalu dengan kondisi punggung dan bahu yang mulai renta, menggendong tas laptop agak lama rasanya bikin pegal...saya butuh motor yang bisa menyimpan tas di bawah kaki. Pertimbangan lain, kota saya terkenal dengan hujannya...saya perlu motor dengan bagasi lumayan besar untuk menyimpan jas hujan, atau sepatu (agar tidak basah saat masuk kantor jika hujan).  Wawww....karakter itu mudah sekali didapatkan di motor matic...tinggal pilih saja merek dan tipe yang mana.

Singkat cerita....1 bulan lebih saya mengobrak-abrik dunia maya...blog2 milik blogger kelas berat reviewer motor saya kunjungi berulang2...baca review sana sini, keluhan sana sini. Akhirnya keputusan pun diambil...saya akan ambil matic saja! Done! satu aspek pilihan sudah selesai....tinggal memilih tipe yang mana.

Nah itulah sekelumit kisah bagaimana akhirnya saya memutuskan untuk memilih motor baru, dan memilih motor jenis apa.  Mengenai bagaimana saya memilih pilihan terakhir saya, silahkan baca post saya selanjutnya...

Salam... :))

Lanjut ke Jilid 2